blog ini adalah kumpulan kenangan habibana saggaf mulai dari kata mutiara beliau sampai dokumenter beliau semoga dapat bermanfaat
Minggu, 21 September 2014
Nasab Habib Sagaf Bin Mahdi Bin Syekh Abu Bakar bin Salim
Sayidina Syekh Al Habib Saggaf
bin
Habib Mahdi
bin
Habib Idrus
bin
Habib Muhammad
bin
Habib Idrus
bin
Habib Umar
bin
Habib Idrus
bin
Habib Muhammad
bin
Habib Ahmad
bin
Habib Husayn
bin
al-Syekh al-Fachr Wujud Abu Bakar
bin
Sayid Salim
Sayid Salim
bin
Sayid Abdullah
bin
Sayid Abdul Raḥman
bin
Sayid Abdullah
bin
Sayid Abdul Rahman as-Saqqaf
bin
Sayid Muhammad Mawla al-Dawilah
bin
Sayid Ali
Mawla ad-Darak
bin
Sayid Alawi al-Ghayur
bin
Sayid Muhammad al Faqih al Muqodam
bin
Sayid Muhammad al Faqih al Muqodam
bin
Sayid Ali Ba'alawi
bin
Sayid Muhammad Sahib Mirbat
bin
Sayid Ali Khali Qasam
bin
Sayid Alawi al-Tsani
bin
Sayid Muhammad
Sahib al-Ṣawma'ah
bin
Sayid Alawi al-Awwal
bin
Sayid Ubaydillah
bin
Sayid Ahmad al-Muhajir
bin
Sayid Ahmad al-Muhajir
bin
Sayid Isa al-Rumi
bin
Sayid Muhammad an-Naqib
bin
Sayidina Ali al-Uraidhi
Sayidina Ali al-Uraidhi
bin
Sayidina Ja'far assodiq
bin
Sayidina Muhammad al Bagir
bin
Sayidina Ali Zainal Abidin
bin
Assyahid Sababul Jannah Sayidina Husein
Sayidina Ja'far assodiq
bin
Sayidina Muhammad al Bagir
bin
Sayidina Ali Zainal Abidin
bin
Assyahid Sababul Jannah Sayidina Husein
bin
Sayidatina Fatimah az-Zahra
binti
Sayidatina Fatimah az-Zahra
binti
Sayidina Muhammad SAW.
Sabtu, 20 September 2014
Sejarah Singkat Bani Alawiyin (Habaib) di Indonesia
A.
PENDAHULUAN
Pada zaman
kekhalifahan Bani Abbas (750-1258 M) berkembanglah ilmu pengetahuan tentang
Islam yang bercabang-cabang disamping kenyataan itu penghidupan lapisan atas
menyimpang dari ajaran agama Islam. Dibentuknya dynasti Bani Abbas yang
turun-temurun mewariskan kekhalifahan. Istilah “muslim bila kaif” telah menjadi
lazim. Hidupnya keturunan Sayidatina Fatmah Al-Zahra dicurigai, tiada bebas dan
senantiasa terancam, ini oleh karena pengaruhnya anak cucu dari Al-Hasan dan
Al-Huseyn r.a. atas rakyat sangat besar dan diseganinya. Keinginan kebanyakan
orang Muslim adalah seorang keturunan Nabi yang seharusnya memegang
kekhalifahan. Banyak yang dipenjarakan dan dibunuhnya oleh karenanya banyak
pula yang pindah dan menjalankan diri dan pusat Bani Abbas di Bahdad,
AHMAD BIN ISA r.a. Dalam keadaan sebagai diuraikan di atas, yang pasti
akan dikutuk Allah s.w.t. dan dengan hendak memelihara keturunannya dari
kesesatan, mengulangilah AHMAD BIN ISA BIN MUHAMMAD BIN ALI BIN JA’FAR BIN
MUHAMMAD BIN ALI BIN AL-HUSEYN r.a. duanya sayidina Ibrahim a.s. yang tersurat
dalam Al-Qur’an surat 14 ayat 37 dan dipilihnya Hadramaut yang bertetanaman,
untuk menetap dan berhijrahlah beliau dari Basrah ke Hadramaut, dimana beliau
wafat di Hasisah pada tahun 345 H. ALWI BIN UBAIDILLAH….ALAWIYINKeturunan
dari AHMAD BIN ISA tadi yang menetap di Hadramaut dinamakan ALAWIYIN ini dari
nama cucunya AL-WI BIN UBAIDILLAH BIN AHMAD BIN ISA yang dimakamkan di Sumul.
Keturunan sayidina Al-Hasan dan Al-Huseyn r.a. disebut juga ALAWIYIN dari
sayidina Ali bin Abi-Talib k.w, Keluarga Al-Anqawi, Al-Musa-Alkazimi, Al-Qadiri
dan Al-Qudsi yang terdapat sedikit di Indonesia adalah Alawiyin, tapi bukan
dari Alwi bin Ubaidillah. MUHAMMAD AL-FAQIH AL-MUQADDAM Luput dari
serbuan Hulaku, saudara maharaja Cina, yang mentamatkan kekhalifahan Bani Abbas
(1257 M), yang memang telah dikhawatirkan oleh AHMAD BIN ISA akan kutukan Allah
s.w.t, maka di Hadramaut Alawiyin menghadapi kenyataan berlakunya undang-undang
kesukuan yang bertentangan dengan ajaran Islam, dan kenyataan bahwa penduduk
Hadramaut adalah Abadhiyun yang sangat membenci sayidina Ali bin Abi-Talib r.a.
Ini ternyata pula hingga kini dari istilah-istilah dalam loghat orang
Hadramaut. Dalam menjalankan “tugas suci”, ialah pusaka yang diwariskannya,
banyak dari pada suku Alawiyin tiada segan mendiami di lembah yang tandus. Tugas
suci itu terdiri dari mengadakan tabligh-tabligh, perpustakaan-perpustakaan,
pesantren-pesantren (rubat) dan masjid-masjid. Alawiyin yang semuala
bermazhab “Ahli-Bait” mulai memperoleh sukses dalam menghadapi Abadhiyun itu
setelah Muhammad Al-Faqih Al-Muqaddam BIN ALI BIN MUHAMMAD BIN ALI BIN ALWI BIN
MUHAMMAD BIN ALWI BIN UBAIDILLAH melaksanakan suatu kompromis dengan memilih
mazhab Muhammad bin Idris Al-Syafi-I Al-Quraisyi, ialah yang kemudian disebut
mazhab Sayfi-I, Muhammad Al-Faqih Al-Muqaddam ini wafat di Tarim pada tahun 653
H. TUGAS SUCI (ISLAMISASI) Alawiyin dalam menyebarkan agama Islam
menyeberang ke Afrika Timur, India, Malaysia, Thailand (Siam), Indonesia
Tiongkok (Cina), Filipina, dsb.
B.
ALAWIYIN DI INDONESIA SEBELUM DIJAJAH BELANDA
Sebelumnya orang Barat datang, maka berkembanglah agama Islam dengan baik sekali dan terbentuklah kerajaan-kerajaan Islam di Indonesia. Runtuhnya Kerajaan Islam di semenanjung Iberia dalam abad ke VI M. dengan jatuhnya Al-Andalus (1492 M), mengakibatkan pengerjaan bangsa Spanyol terhadap Muslimin, pengejaran mana diberkati Paus Roma. Jika kehendak orang Spanyol menyeranikan, maka kehendak orang Portugis ialah berniaga dengan orang Muslim di Indonesia, dan oleh karena ini orang Portugis ialah memperoleh sukses. Sebab peperangan di Europa antara Spanyol sepihak dengan masing-masing Belanda dan Inggris, maka kedua bangsa ini turut juga datang ke Indonesia ditentang oleh kaum Muslimin di tanah air kita.
C. ALAWAYIN DI INDONESIA DI MASA JAJAHAN BELANDA
Dengan pelbagai tipu muslihat dan fitnah akhirnya Belanda disokong oleh
negara-negara Barat lain, dapat menguasai Indonesia dan ekonomi Belanda mulai
berkembang pesat sesudahnya dapat dipergunakan kapal uap. Alawiyin dari pada
awalnya jajahan Belanda mulai merasakan rupa-rupa kesulitan, oleh karena
Belanda melihat bahwa Alawiyin-lah yang dalam segala lapangan menjadi
pelopornya, baik di medan perang maupun dalam bidang pengangkutan barang-barang
lewat lautan atau bidang kebudayaan (agama). Dilarangnya Alawiyin
menetap di pedalaman pulau Jawa, dilarangnya berkeluarga dengan anggota istana
(yang memang keturunan Alawiyin), hingga yang tiada mampu pindah ke
perkampungan tertentu di bandar-bandar di tepi laut, atau karena sebab lain,
mengambil nama keluarga Jawa agar dianggapnya orang Jawa asli, pribumi. Oleh
karenanya pindahanya Alawiyin dari pedalaman ke bandar-bandar di pinggir laut,
maka pula pusat ke-Islaman pindah ke utara seperti Semarang, Surabaya, Jakarta,
dst. Yang tidak dapat berpindah dari pedalaman menetap di
perkampungan-perkampungan yang disebut “kaum” Suku-suku Alawiyin yang telah
anak-beranak dan tiada mampu pindah ke kota-kota besar dan mengambil nama
ningrat Jawa, ialah banyak dari pada Al-Basyiban, Al-Baabud, Al-Binyahya,
Al-Aydrus, Al-Fad’aq dan lain-lain lagi. Dalam keadaan yang demikian itu,
Belanda baru mulai berusaha menyeranikan Jawa Tengah, dimana Islam tiada dapat
berkembang oleh karena peperangan-peperangan melawan Belanda dan berhasilnya
aneka fitnah yang Belanda ciptakan antara penguasa-penguasa pribumi sendiri.
Anak Muslim tiada boleh bersekolah, sedangkan anak Kristen dapat
pendidikan dan pelajaran modern. Kemudian di-izinkan bersekolah Belanda
anak-anak orang yang berpangkat pada pemerintah jajahan, dan diharuskan mereka
tinggal (yakni in de kost) pada pejabat Belanda. Katanya agar, dapat lancar
berbicara bahasa Belanda dan mengikuti pelajaran-pelajaran yang diberi dalam
bahasa itu; sebetulnya untuk menjadikan kanak-kanak itu berfikir dan hidup
secara orang Belanda, dan untuk mengasingkan mereka dari bangsawan sendiri,
dari adat-istiadat dan agamanya. Anak rakyat biasa, awam, mengaji, baik pada
madrasah-madrasah Alawiyin atau pesantren-pesantren. Hubungan Alawiyin
dengan para kiyahi erat sekali. Untuk melumpuhkan berkembangnya agama islam di
antara anak-anak rakyat jelata, Belanda mengadakan sekolah-sekolah Hollands
Inlandse School (H.I.S) dengan syarat bahwa murid tiada boleh bersaring dan
berkopya-pici, harus mengenakan celana pendek sampai atas lutut, pakaian mana
bukan kebiasaan orang yang mendirikan salat. Jangan sampai kanak-kanak dapat
membaca Al-Qur’an dan kitab-kitab agama Islam yang tertulis dengan huruf Arab,
Belnda mengajar dengan sungguh menulis dengan huruf lain, dan mengadakan buku-buku
yang menarik, dalam huruf ini, untuk maksud mana dibentuknya Balai
Perpustakaan. Banyak buku-buku yang dikarang oleh pendeta dan padri indolog dan
orientalis, mengandung racun bagi anak murid yang pengetahuannya tentang Islam
dan tarikhnya masih sangat Dangkal. Alawiyin menolak tawaran Belanda
untuk membangun Hollands-Arabise School (H.A.S, dan menolak pula subsidi dari
pemerintah jajahan bagi madrasah-madrasahnya, karena curiga dan takut dri tipu
muslihat dan pengaruh Belanda yang berniat merusak agama Islam. Alawiyin tiada
dibolehkan menidirkan cabang-cabang mandrasah di kota-kota besar dengan nama
yang sama, oleh karena itu nama-nama madrasah yang sama skala pendidikannya,
berlainan namanya. Para guru dari negara Islam didatangkan untuk mengajar di
madrasah-madrasah, dan kanak-kanak yang berbakat dikirim lanjutkan pelajarannya
ke Hadramaut, Hejaz, Istanbul, Kairo dan lain-lain. Disamping perguruan,
Alawiyin aktif juga di lapangan politik hingga beberapa orang ditangkap dan
dipenjarakan. Melawan Belanda antara mana di Aceh, dan sesudah Aceh
ditaklukannya, Muslimin hendak mengadakan pemberontakan disana dengan
mengibarkan bendera Khalifah Muslimin. Alawiyin hendak menerbitkan
pemberontakan di Singapura di kalangan tertentu Muslimin India yang Inggeris
hendak berangkatkan untuk berperang di iraq (Perang Dunia I). Perlu juga
diketahui bahwa Alawiyin senantiasa berhubungan dengan Muslimin di luar negeri,
orang-orang yang terkemuka dan berpengaruh, teristimewa dengan Padisyah,
Khalifatul Muslimin, di Istanbul, yang atas aduan Alawiyin pernah mengirim
utusan rahasia untuk menyelidiki keadaan-keadaan Muslimin di Indonesia.
D.
ALAWIYIN DI INDONESIA DI MASA PENDUDUKAN MILITER JEPANG
Pendudukan militer Jepang menindas dan mematikan segala kegiatan Alawiyin,
terutama dalam bidang politik, peguruan tabligh, pemeliharaan orang miskin dan
anak yatim. Perpustakaan yang tidak dapat dinilai harganya di-angkat Jepang,
entah kemana. Semua kibat ada capnya dari Al-Rabitah Al-alawiyah yang
berpengurus-besar hingga kini di Jalan Mas Mansyur (dahulu jalan Karet) No. 17
Jakarta Pusat (II/24). e. ALAWIYIN DI INDONESIA SETELAH MERDEKA Pemuda
Alawiyin turut giat melawan Inggeris dan Belanda (Nica), bergerilya di
pegunungan. SEMUA PEMUDA ALAWIYIN ADALAH WARGANEGARA INDONESIA dan masuk
berbagai partai Islam. Dalam lapangan ekonomi mereka sangat lemah hingga kini
belum dapat merebut kembali kedudukannya seperti sebelumnya pecah perang dunia
ke-dua dengan lain kata, jika Alawiyin sebelumnya Perang Dunia ke II dapat
membentuk badan-badan sosial seperti gedung-gedung madrasah, rumah yatim piatu,
masjid-masjid dan membayar guru-guru yang cakap, maka sekarang ini dengan susah
payah mereka membiayai pemeliharaannya dan tidak dapat lagi memberi tenaga
guru-guru sepandai dan seacakap yang dahulu, meskipun kesempatan kiniadalah
lebih baik dari dan pertolongan pemerintah ala qadarnya. Kegiatan yang tersebar
sampai di pelosok-pelosok kepualauan Indonesia. Alawiyin yang lebih
dikenal dengan sebutan sayid, habib, ayib dan sebagainya tetap dicinta
dimana-mana dan memegang peranan rohani yang tidak dapat dibuat-buat
sebagaimana juga di negara islam lain. Kebiasaan dan tradisi Alawiyin di-ikuti
dalam Perayaan maulid Nabi, haul, nikah, upacara-upacara kematian dan
sebagainya. Suku-suku Alawiyin di Indonesia yang berjumlah kurang lebih
50.000 orang; ada banyak yang besar, antara mana Al-Saggaf, Al-Attas,
Al-Syihab, Al-Habasyi, Al-Aydrus, Al-Kaf, Al-Jufri, Al-Haddad dan semua
keturunan asal-usul ini dicatat dan dipelihara pada Al-Maktab Al-Da-imi yaitu
kantor tetap untuk statistik dan pemeliharaan nasab sadatul-alawiyin yang
berpusat di gedung “Darul Aitam”
AL-HABIB SAGGAF BIN MAHDI BIN SYEKH ABU BAKAR BIN SALIM
AL-HABIB SAGGAF BIN MAHDI BIN SYECH ABU BAKAR BIN SALIM
Abah" Sapaan yang tak asing di telinga kita, setiap langkah di muka bumi
ini di manapun dan kapanpun jika terdengar panggilan tersebut benak kita
langsung teringat sosok manusia yang Alim dan Arif (Habib Saggaf ),
Abah yang periang, Abah yang bersahabat, Abah yang penuh dengan senyum, Abah yang tak pernah membeda-bedakan walaw tak lagi nampak di mata namun akan tetap bersemayam di hati.....
Jauhnya jarak yang memisahkan tak mampu memutuskan ikatan batin kita dengan Mahad Tercinta (Al Ashriyyah Nurul Iman). kan selalu teringat
Teringat pula kisah yang Inspiratif dalam selama hidupnya berawal dari kalimat "NANTI kamu jadi ulama besar dan kaya raya. Kamu masuk pondok saja. Berangkatlah tawakkaltu," demikian nasihat Habib Soleh bin Ahmad bin Muhammad al-Muhdhar ulama besar dari Bondowoso, Jawa Timur usai 'meneliti' kaki Habib Saggaf bin Mahdi yang masih berusia 14 tahun.
Namun Habib Saggaf muda masih ragu. Pasalnya sejak kecil ia tak pernah mondok.
"Kepala seperti mau pecah mendengar perintah itu. Tapi saya pergi juga
ke Pesantren Darul Hadits di Malang," kenang Abah, panggilan
akrab Habib Saggaf bin Mahdi bin Syeikh Abu Bakar.
Di depan pintu ponpes, Habib Saggaf diterima pendiri Darul Hadits, Habib Abdul Qadir bin Ahmad Bilfaqih al-Alawy. "Kamu musti belajar baca al-Qur'an," kata Habib Abdul Qadir seraya memegang kuping Saggaf.
Sontak, sakit kepala dan keraguan Habib Saggaf hilang. "Hati saya terbuka. Ini guru saya. Apa pun yang terjadi, saya harus belajar di sini," tekad Saggaf muda.
Saggaf pun menempuh pendidikan di sana dengan cemerlang. "Saya menjadi santri hanya 2 tahun 7 bulan dan langsung ngajar fiqh dan nahwu. Saya di sana 13 tahun," kenangnya.
Sepulang dari Malang, Habib Saggaf berguru ke Masjid Sayyidina Abbas di Aljazair selama 5 tahun dan i'tikaf di Makkah selama 5 tahun. Habib Saggaf juga memperdalam tareqat di Iraq. Namun ia harus kembali ke Tanah Air. Guru tarekatnya yang beraliran Syadziliyah, merekomendasikannya belajar tareqat di Mranggen, Demak.
Dia pun lantas kembali ke Dompu mendirikan Ponpes Ar-Rahman. Tak lama berselang, Saggaf pindah ke Parung Bogor mendirikan Ponpes al-'Ashriyyah Nurul Iman. Sebelum ke Parung, Saggaf mendirikan Ponpes Nurul Ulum di Kali Mas Madya, Surabaya, yang banyak menerima murid dari Singapura, Malaysia, Brunei Darussalam dan Afrika.
Sejak itu, undangan ceramah banyak datang dari negara tetangga. Ratusan ribu massa selalu memadati majelisnya di Singapura. "Bukan hanya orang Melayu dan Islam, orang Cina, India, Budha, Hindu dan lain-lain, telah memenuhi stadion Singapura sejak sore," ujarnya.
Kepandaiannya menguasai Qiraah Sab'ah (bacaan al-Quran dengan riwayat tujuh imam, Red) membuatnya ditunggu majelisnya di Singapura. Namun kepandaiannya itu juga yang mengakibatkan Mufti Singapura menuduhnya mengutak-atik bacaan al-Quran.
"Saya dituduh merusak al-Quran. Akibatnya ponpes saya di Surabaya disegel Depag dengan alasan takut bentrok antara Indonesia dengan Singapura. Tanah seluas 5 ha di Sekupang Batam yang diberi pemerintah juga ditarik kembali," ungkapnya mengenang peristiwa di awal 1980-an itu.
Dia pun pindah ke Jakarta. Di Ibukota, Habib Saggaf pun menghidupkan majelis di Masjid Agung Bintaro. Krisis sosial-politik pasca jatuhnya Soeharto pada 19 Juni 1998, membuat Habib Saggaf memutuskan pindah ke Desa Warujaya, Parung, Bogor yang lebih tenang dibanding Jakarta.
Ternyata, krisis ekonomi turut menghancurkan masyarakat Desa Warujaya. Hal itu memicu Habib Saggaf mengumpulkan anak-anak sekolah di rumahnya. "Sebelum sekolah mereka makan nasi ketan di rumah. Tiap anak saya kasih uang jajan Rp 250. Dan tiap keluarga kita bagi beras 5 kg," katanya.
Pada 1999, datanglah seorang santri asal Wonogiri, Solo, bernama Prawoto Suwito. Kedatangannya memberi spirit bagi Saggaf untuk mendirikan Ponpes al-Ashriyyah Nurul Iman. Kian lama ponpesnya kian besar, hingga kini memiliki 8.231 santri. Selain beribadah dan belajar, ponpes itu juga melatih santrinya bertani, daur ulang sampah dan membuat roti.
Diakui Habib Saggaf, ikhtiar ekonomi para santrinya belum cukup untuk menghidupi ponpes terbesar di Bogor itu. Karena itulah, dia menerima beberapa dermawan mensedekahkan hartanya untuk kepentingan ponpes.
"Dua masjid itu sumbangan dari orang yang sama," ungkap Saggaf menjelaskan asal usul dua masjid besar di dalam pon-pes. Satunya berkapasitas 5.000 orang untuk santri laki-laki dan sebuah lagi, berkapasitas 3.000 orang untuk santri perempuan.
Tak hanya itu, beberapa perkumpulan agama non-Islam turut menyumbang konsumsi, tenaga pengajar, gedung olah raga dan asrama. Jadi, jangan heran jika di depan masjid agung pon-pes berdiri dojo Taekwondo seluas 200 m2, sumbangan dari pengusaha Korea Selatan, Park Young Soo.
"Guru Taekwondo-nya dari Korea. Kita juga memadukan zafin (tarian Arab, Red) dengan Taekwondo. Sekarang sedang dipatenkan di Korea Selatan," jelasnya.
Ponpes itu juga memiliki gedung dua lantai, dengan 24 ruang kelas, 2 ruang guru, 32 kamar mandi dan 20 toilet. Pendidikan tsanawiyah, aliyah dan Universitas Habib Saggaf diselenggarakan di situ. "Gedung ini sumbangan dari Yayasan Buddha Tzu Chi," jelasnya.
Puluhan tempat bermukim para santri, banyak yang berasal dari infaq orang tua santri. Bahkan salah satu diantaranya adalah sumbangan dari organisasi keturunan India di Indonesia, Gandhi Sevaloka.
Hadirnya beberapa bangunan dari sumbangan komunitas non-muslim itu, menurut Habib, karena dirinya tak segan bergaul dengan siapa pun. "Kadang beberapa pendeta tidur di sini untuk mempelajari sistem ponpes ini," akunya.
Habib Saggaf juga terus menanamkan toleransi antar pemeluk agama di negeri ini. Karenanya, ia menyayangkan aksi kekerasan sekelompok orang dengan mencatut Islam. "Akibatnya Islam dipandang salah. Orang Islam dianggap 'tukang makan orang," ujarnya lugas.
Selain itu, kata Habib Saggaf, rusaknya citra Islam juga karena ajaran Islam disalahpahami. "Itu, orang-orang yang ngaku mujahid. Mujahid apa itu, berontak di negara orang. Mereka bikin kacau Indonesia. Kalau saya presiden, saya usir mereka. Saya tangkap dan saya suruh tinggal di Arab. Jadi, jika kita ingin memperbaiki, jangan yang sudah rusak dirusak lagi. Itu baru mujahid," himbaunya.
Untuk itu, ia menghimbau kelompok yang mengusung nama Islam agar menyelesaikan persoalan melalui mekanisme hukum. "Ini Indonesia. Ada pemerintah, ada hukum, dan ada polisi. Mereka yang menjaga keamanan. Jika tidak melalui jalur hukum, berarti ingin mendirikan negara dalam negara. Tapi pemerintah juga salah, kok orang-orang kayak begitu (anarkis, Red) dibiarkan. Mereka itu bisa merusak Indonesia," tandasnya.
Di depan pintu ponpes, Habib Saggaf diterima pendiri Darul Hadits, Habib Abdul Qadir bin Ahmad Bilfaqih al-Alawy. "Kamu musti belajar baca al-Qur'an," kata Habib Abdul Qadir seraya memegang kuping Saggaf.
Sontak, sakit kepala dan keraguan Habib Saggaf hilang. "Hati saya terbuka. Ini guru saya. Apa pun yang terjadi, saya harus belajar di sini," tekad Saggaf muda.
Saggaf pun menempuh pendidikan di sana dengan cemerlang. "Saya menjadi santri hanya 2 tahun 7 bulan dan langsung ngajar fiqh dan nahwu. Saya di sana 13 tahun," kenangnya.
Sepulang dari Malang, Habib Saggaf berguru ke Masjid Sayyidina Abbas di Aljazair selama 5 tahun dan i'tikaf di Makkah selama 5 tahun. Habib Saggaf juga memperdalam tareqat di Iraq. Namun ia harus kembali ke Tanah Air. Guru tarekatnya yang beraliran Syadziliyah, merekomendasikannya belajar tareqat di Mranggen, Demak.
Dia pun lantas kembali ke Dompu mendirikan Ponpes Ar-Rahman. Tak lama berselang, Saggaf pindah ke Parung Bogor mendirikan Ponpes al-'Ashriyyah Nurul Iman. Sebelum ke Parung, Saggaf mendirikan Ponpes Nurul Ulum di Kali Mas Madya, Surabaya, yang banyak menerima murid dari Singapura, Malaysia, Brunei Darussalam dan Afrika.
Sejak itu, undangan ceramah banyak datang dari negara tetangga. Ratusan ribu massa selalu memadati majelisnya di Singapura. "Bukan hanya orang Melayu dan Islam, orang Cina, India, Budha, Hindu dan lain-lain, telah memenuhi stadion Singapura sejak sore," ujarnya.
Kepandaiannya menguasai Qiraah Sab'ah (bacaan al-Quran dengan riwayat tujuh imam, Red) membuatnya ditunggu majelisnya di Singapura. Namun kepandaiannya itu juga yang mengakibatkan Mufti Singapura menuduhnya mengutak-atik bacaan al-Quran.
"Saya dituduh merusak al-Quran. Akibatnya ponpes saya di Surabaya disegel Depag dengan alasan takut bentrok antara Indonesia dengan Singapura. Tanah seluas 5 ha di Sekupang Batam yang diberi pemerintah juga ditarik kembali," ungkapnya mengenang peristiwa di awal 1980-an itu.
Dia pun pindah ke Jakarta. Di Ibukota, Habib Saggaf pun menghidupkan majelis di Masjid Agung Bintaro. Krisis sosial-politik pasca jatuhnya Soeharto pada 19 Juni 1998, membuat Habib Saggaf memutuskan pindah ke Desa Warujaya, Parung, Bogor yang lebih tenang dibanding Jakarta.
Ternyata, krisis ekonomi turut menghancurkan masyarakat Desa Warujaya. Hal itu memicu Habib Saggaf mengumpulkan anak-anak sekolah di rumahnya. "Sebelum sekolah mereka makan nasi ketan di rumah. Tiap anak saya kasih uang jajan Rp 250. Dan tiap keluarga kita bagi beras 5 kg," katanya.
Pada 1999, datanglah seorang santri asal Wonogiri, Solo, bernama Prawoto Suwito. Kedatangannya memberi spirit bagi Saggaf untuk mendirikan Ponpes al-Ashriyyah Nurul Iman. Kian lama ponpesnya kian besar, hingga kini memiliki 8.231 santri. Selain beribadah dan belajar, ponpes itu juga melatih santrinya bertani, daur ulang sampah dan membuat roti.
Diakui Habib Saggaf, ikhtiar ekonomi para santrinya belum cukup untuk menghidupi ponpes terbesar di Bogor itu. Karena itulah, dia menerima beberapa dermawan mensedekahkan hartanya untuk kepentingan ponpes.
"Dua masjid itu sumbangan dari orang yang sama," ungkap Saggaf menjelaskan asal usul dua masjid besar di dalam pon-pes. Satunya berkapasitas 5.000 orang untuk santri laki-laki dan sebuah lagi, berkapasitas 3.000 orang untuk santri perempuan.
Tak hanya itu, beberapa perkumpulan agama non-Islam turut menyumbang konsumsi, tenaga pengajar, gedung olah raga dan asrama. Jadi, jangan heran jika di depan masjid agung pon-pes berdiri dojo Taekwondo seluas 200 m2, sumbangan dari pengusaha Korea Selatan, Park Young Soo.
"Guru Taekwondo-nya dari Korea. Kita juga memadukan zafin (tarian Arab, Red) dengan Taekwondo. Sekarang sedang dipatenkan di Korea Selatan," jelasnya.
Ponpes itu juga memiliki gedung dua lantai, dengan 24 ruang kelas, 2 ruang guru, 32 kamar mandi dan 20 toilet. Pendidikan tsanawiyah, aliyah dan Universitas Habib Saggaf diselenggarakan di situ. "Gedung ini sumbangan dari Yayasan Buddha Tzu Chi," jelasnya.
Puluhan tempat bermukim para santri, banyak yang berasal dari infaq orang tua santri. Bahkan salah satu diantaranya adalah sumbangan dari organisasi keturunan India di Indonesia, Gandhi Sevaloka.
Hadirnya beberapa bangunan dari sumbangan komunitas non-muslim itu, menurut Habib, karena dirinya tak segan bergaul dengan siapa pun. "Kadang beberapa pendeta tidur di sini untuk mempelajari sistem ponpes ini," akunya.
Habib Saggaf juga terus menanamkan toleransi antar pemeluk agama di negeri ini. Karenanya, ia menyayangkan aksi kekerasan sekelompok orang dengan mencatut Islam. "Akibatnya Islam dipandang salah. Orang Islam dianggap 'tukang makan orang," ujarnya lugas.
Selain itu, kata Habib Saggaf, rusaknya citra Islam juga karena ajaran Islam disalahpahami. "Itu, orang-orang yang ngaku mujahid. Mujahid apa itu, berontak di negara orang. Mereka bikin kacau Indonesia. Kalau saya presiden, saya usir mereka. Saya tangkap dan saya suruh tinggal di Arab. Jadi, jika kita ingin memperbaiki, jangan yang sudah rusak dirusak lagi. Itu baru mujahid," himbaunya.
Untuk itu, ia menghimbau kelompok yang mengusung nama Islam agar menyelesaikan persoalan melalui mekanisme hukum. "Ini Indonesia. Ada pemerintah, ada hukum, dan ada polisi. Mereka yang menjaga keamanan. Jika tidak melalui jalur hukum, berarti ingin mendirikan negara dalam negara. Tapi pemerintah juga salah, kok orang-orang kayak begitu (anarkis, Red) dibiarkan. Mereka itu bisa merusak Indonesia," tandasnya.
HABIB SAGGAF BIN MAHDI BIN SYEKH ABU BAKAR BIN SALIM
Lelaki yang selalu berjubah putih ini memiliki komitmen yang kuat untuk melahirkan SDM yang berkualitas dan profesional. Sisa hidupnya dihabiskan di dunia pendidikan. Kegiatan sosialnya di Desa Waru jaya, Parung Bogor, tahun 1998 itu, mendapat simpati masyarakat. Rumah yang dimilikinya sekarang adalah wakaf seorang dermawan bernama H.Gembong dari Blitar.
Pesantren ini pada mulanya diawali seorang santri, yaitu remaja bernama Prawoto Suwito asal Wonogiri, Solo, alumi STM yang bekerja di PT Sanyo. Pada tahun 1998 ia bermimpi ingin nyantri ke Abah dan mimpi itu langsung disampaikannya kepada Abah. Katanya, ia ingin nyantri untuk menguatkan jiwanya menghadapi kehidupan ini.
Prawoto lalu dibuatkan pondok terbuat dari kayu bambu berukuran 4x5 M sebagai pondok yang pertama di pesantren itu. Setelah itu datang lagi sekitar 25 santri, dibuat kan lagi pondok ukuran 8x5 M, datang lagi sekitar 70 santri, datang lagi, datang lagi. Santrinya bertambah terus, sedangkan kapasitas pondoknya kecil dan sempit bahkan sebagian ada yang tidur di bawah kolong. Hal ini, menggugah perhatian sejumlah dermawan, salah satu teman akrabnya Beliau adalah Bapak H. Isya Anwar dari jakarta.)
Berbasis Kompetensi
Pesantren Nurul Iman didirikan 16 Juni 1998 menekankan kedisiplinan, maningkatakan kekuatan pribadi dengan ilmu Agama dan umum plus kecakapan hidup (life skills) berbasis kompetensi. Pesantren ini memadukan sistem madrasah dan sekolah umum serta pengajian kitab-kitab klasik.
Secara normatif landasan hukum pelaksanaannya mengacu pada (1) Instruksi Presiden Nomor : 1 tahun 1994 yang menegaskan bahwa “Pesantren dimungkingkan menyelenggarakan program pendidikan dasar tersendiri yang penyetaraannya dengan pendidikan dasar di setujui oleh Menteri Pendidikan dan Kebudayaan”;(2) Kesepakatan bersama Menteri Pendidikan Nasional dan Menteri Agama Nomor : 1/U/KB/2000,tentang “Pondok Pesantren Salafiyah sebagai Pola Wajib Belajar Pendidikan Dasar”;(3) Surat Keputusan Bersama Dirjen Dikdasmen Binbaga Islam, Nomor : E/83/2000 dan Nomor : 166/C/DS/2000, tentang “Pedoman Pelaksanaan Pondok Pesantren Salafiyah sebagai Pola Wajib Belajar Pendidikan Dasar”.
Kurikulumnya memadukan sistem pendidikan Keagamaan dan umum. Sistem pembelajarannya : pengetahuan keagamaan jam 07.30-11.00, pengetahuan umum jam 14.00-16.00. pesantren yang tidak memungut biaya (baca : gratis) ini, menampung santri dari berbagai daerah seluruh Indonesia, anak-anak yang kurang mampu (secara ekonomi), anak yatim piatu dan anak-anak jalanan. Para pengasuhnya terdiri dari alumni Timur Tengah, UIN Syarif hidayatullah Jakarta, IAIN Alauddin Makassar, Universitas Indonesia dan lainnya. Mereka kebanyakan sarjana, magister dan doktoral (guru besar) yang memiliki kualifikasi yang baik.
Para santri diwajibkan menghafal Al-Qur’an ditambah keterampilan menguasai brebagai bahasa asing : Inggris, Arab, Mandarin dan Korea. Kegiatan ekstrakulikuler meliputi antara lain : latihan kepemimpinan, kepramukaan, olahraga, seni tari (tarian India, Cina, Di samping tari-tarian nasional dan daerah). Fasilitas pesantren sekarang ini antara lain : Masjid Toha, Ruangan Belajar, Ruang Belajar Baru sebanyak 38 ruangan (tahun ajaran baru ini dimanfaatkan), laboraturium bahasa dan komputer, rumah baca, buku-buku dan fasilitas olahraga. Prestasi yang disandang para santri antara lain : Juara Nasional Tae KwonDo, Juara 1 baca Kitab Se Indonesia dan hafal Al Qur’an 30 juz. Juara 1 MTQ Nasional, Kini Pesantren Nurul Iman merupakan Pesantren terbesar di kawasan Parung Bogor, dengan 14000 ( Empat belas ribu ) santri dan luas tanah 150 hektar. Jenjang pendidikan meliputi Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) Madrasah Diniyyah, Madrasah Tsanawiyyah, Madrasah Aliyah dan Perguruan Tinggi ( STAINI ).
Kunjungan orang tua santri hanya dibolehkan pada hari Besar Islam Tahun baru Islam, Maulid Nabi, Idul Fitri, Dll. sehingga setiap Tahunnya pesantren bukannya sepi tapi justru ramai karena banyak orang tua menjenguk anak-anak mereka. Lokasi sekitar pesantren berubah menjadi pasar kaget karena banyak pedagang memanfaatkan waktu jenguk itu. By Nurul Iman student.
Read more: http://
KAROMAH HABIB SAGGAF BIN MAHDI BIN SYEKH ABU BAKAR BIN SALIM (HABIB PARUNG)
Dalam
aqidah Ahlussunnah wal Jama’ah, kita meyakini adanya mukjizat bagi para nabi.
Begitupula karamah bagi para kekasih Allah Swt., atau biasa kita sebut para
wali. Tokoh yang akan kita bicarakan kali ini sudah tidak asing lagi di telinga
para muhibbin Indonesia, khususnya para santri Pondok Pesantren al-Ashriyyah
Nurul Iman Parung Bogor.
Diantara keistiqomahan Habib Saggaf adalah di setiap malam setelah beliau pulang dari keliling kota, selalu mengontrol murid-muridnya yang sedang beristirahat tidur malam.
Suatu
saat Habib Saggaf sedang berjalan menuju ke kediaman beliau sepulang dari
asrama putra (al-Ashriyyah Nurul Iman) tepatnya pada hari Selasa malam Rabu pukul 22.15 WIB tahun 2003, datanglah seseorang yang mengenakan jubah layaknya seorang ulama
dan mengaku bahwa dirinya adalah Jibril.
asrama putra (al-Ashriyyah Nurul Iman) tepatnya pada hari Selasa malam Rabu pukul 22.15 WIB tahun 2003, datanglah seseorang yang mengenakan jubah layaknya seorang ulama
dan mengaku bahwa dirinya adalah Jibril.
Melihat
kejadian itu Habib Saggaf berteriak
dengan suara yang sangat keras seraya
berkata: “Anta Iblis!” Kemudian sosok berjubah itu pun hilang seketka.
Kisah
selanjutnya diceritakan oleh Syaikh Ahmad Shiddiq, utusan Raja Abu Dhabi, Emirat Arab. Teatnya pada tahun 2005 ketika Raja Abu Dhabi
sakit keras dan berobat ke berbagai tabib
namun belum juga sembuh, akhirnya diutuslah
seorang utusan ke Indonesia untuk menemui Habib Saggaf bin Mahdi yang sudah lama dikenal oleh raja dan pemerintahan Abu Dhabi. Dengan permintaan itu, Habib Saggaf pun mengabulkan permintaannya.
Setelah
selesai menepati harapan raja, beliau sebelum
pulang ke Indonesia menyempatkan diri untuk umrah
dan ziarah kepada sang kakek, Nabi Muhammad Saw.
Saat Habib Saggaf di Ka’bah beliau hendak mencium Hajar Aswad, namun terhalang-halangi oleh kerumunan jamaah yang lain sehingga beliaupun tidak bisa
mendekat pada Hajar Aswad itu. Tiba-tiba datanglah seseorang yang tinggi besar dan
meletakan beliau di atas telapak
tangannya lalu dihadapkan ke Hajar Aswad. Syaikh Ahmad Shiddiq (utusan Raja Abu
Dhabi) yang menyaksikan kejadian tersebut, sang utusan itu melihat sang habib terbang di atas jamaah haji.
Selesai
melaksanakan umrah, Habib Saggaf ziarah
ke makam Rasulullah Saw. Ketika beliau mendekati dinding kubur Rasulullah Saw. beliau mengulurkan sorbannya untuk mengharap keberkahan Nabi Saw. Melihat hal ini, sang
opsir penjaga (muthawi’) menyeret
beliau sambil berteriak: “Bid’ah!" lalu Habib Saggaf dipukuli oleh opsir tersebut.
Tiba-tiba keluarlah Rasulullah Saw. dari arah
dinding kubur yang disaksikan oleh semua
jamaah yang hadir waktu itu. Rasulullah Saw. menampakkan nurnya yang menyelimuti Habib Saggaf.
Kemudian
Rasulullah Saw mengulurkan tangannya
seraya bersabda: “Saggaf, masuklah bersamaku.”
Dengan
tawadhu’Habib Saggaf menjawab: “Cukup
di sini saja wahai Rasulullah, supaya
sama dengan yang lainnya. Saya mengharap
syafaatmu wahai Rasulullah.”
Kemudian
Rasulullah Saw. menjawab: “Aku beri syafaat padamu wahai cucuku.”
Inilah
secuil kisah karamah Habib Saggaf bin Mahdi BSA yang sudah masyhur diceritakan
dari santri ke santri, dan kemudian menyebar ke khalayak umum setelah kewafatan
beliau. Mari kita hadiahkan bacaan surat al-Fatihah teruntuk beliau yang telah
mendahului kita. ‘Ala kulli niyyatin shalihah wa ila hadhratin Nabi Muhammad Saw.
al-Fatihah...
Wallahu A’lam Bishshawab.
Langganan:
Postingan (Atom)