Sabtu, 20 September 2014

Sejarah Singkat Bani Alawiyin (Habaib) di Indonesia

File:Al alawiyin.jpg



A. PENDAHULUAN 

Pada zaman kekhalifahan Bani Abbas (750-1258 M) berkembanglah ilmu pengetahuan tentang Islam yang bercabang-cabang disamping kenyataan itu penghidupan lapisan atas menyimpang dari ajaran agama Islam. Dibentuknya dynasti Bani Abbas yang turun-temurun mewariskan kekhalifahan. Istilah “muslim bila kaif” telah menjadi lazim. Hidupnya keturunan Sayidatina Fatmah Al-Zahra dicurigai, tiada bebas dan senantiasa terancam, ini oleh karena pengaruhnya anak cucu dari Al-Hasan dan Al-Huseyn r.a. atas rakyat sangat besar dan diseganinya. Keinginan kebanyakan orang Muslim adalah seorang keturunan Nabi yang seharusnya memegang kekhalifahan. Banyak yang dipenjarakan dan dibunuhnya oleh karenanya banyak pula yang pindah dan menjalankan diri dan pusat Bani Abbas di Bahdad,  AHMAD BIN ISA r.a. Dalam keadaan sebagai diuraikan di atas, yang pasti akan dikutuk Allah s.w.t. dan dengan hendak memelihara keturunannya dari kesesatan, mengulangilah AHMAD BIN ISA BIN MUHAMMAD BIN ALI BIN JA’FAR BIN MUHAMMAD BIN ALI BIN AL-HUSEYN r.a. duanya sayidina Ibrahim a.s. yang tersurat dalam Al-Qur’an surat 14 ayat 37 dan dipilihnya Hadramaut yang bertetanaman, untuk menetap dan berhijrahlah beliau dari Basrah ke Hadramaut, dimana beliau wafat di Hasisah pada tahun 345 H.  ALWI BIN UBAIDILLAH….ALAWIYINKeturunan dari AHMAD BIN ISA tadi yang menetap di Hadramaut dinamakan ALAWIYIN ini dari nama cucunya AL-WI BIN UBAIDILLAH BIN AHMAD BIN ISA yang dimakamkan di Sumul. Keturunan sayidina Al-Hasan dan Al-Huseyn r.a. disebut juga ALAWIYIN dari sayidina Ali bin Abi-Talib k.w, Keluarga Al-Anqawi, Al-Musa-Alkazimi, Al-Qadiri dan Al-Qudsi yang terdapat sedikit di Indonesia adalah Alawiyin, tapi bukan dari Alwi bin Ubaidillah.  MUHAMMAD AL-FAQIH AL-MUQADDAM Luput dari serbuan Hulaku, saudara maharaja Cina, yang mentamatkan kekhalifahan Bani Abbas (1257 M), yang memang telah dikhawatirkan oleh AHMAD BIN ISA akan kutukan Allah s.w.t, maka di Hadramaut Alawiyin menghadapi kenyataan berlakunya undang-undang kesukuan yang bertentangan dengan ajaran Islam, dan kenyataan bahwa penduduk Hadramaut adalah Abadhiyun yang sangat membenci sayidina Ali bin Abi-Talib r.a. Ini ternyata pula hingga kini dari istilah-istilah dalam loghat orang Hadramaut. Dalam menjalankan “tugas suci”, ialah pusaka yang diwariskannya, banyak dari pada suku Alawiyin tiada segan mendiami di lembah yang tandus. Tugas suci itu terdiri dari mengadakan tabligh-tabligh, perpustakaan-perpustakaan, pesantren-pesantren (rubat) dan masjid-masjid.   Alawiyin yang semuala bermazhab “Ahli-Bait” mulai memperoleh sukses dalam menghadapi Abadhiyun itu setelah Muhammad Al-Faqih Al-Muqaddam BIN ALI BIN MUHAMMAD BIN ALI BIN ALWI BIN MUHAMMAD BIN ALWI BIN UBAIDILLAH melaksanakan suatu kompromis dengan memilih mazhab Muhammad bin Idris Al-Syafi-I Al-Quraisyi, ialah yang kemudian disebut mazhab Sayfi-I, Muhammad Al-Faqih Al-Muqaddam ini wafat di Tarim pada tahun 653 H.  TUGAS SUCI (ISLAMISASI) Alawiyin dalam menyebarkan agama Islam menyeberang ke Afrika Timur, India, Malaysia, Thailand (Siam), Indonesia Tiongkok (Cina), Filipina, dsb. 


B. ALAWIYIN DI INDONESIA SEBELUM DIJAJAH BELANDA 

Sebelumnya orang Barat datang, maka berkembanglah agama Islam dengan baik sekali dan terbentuklah kerajaan-kerajaan Islam di Indonesia. Runtuhnya Kerajaan Islam di semenanjung Iberia dalam abad ke VI M. dengan jatuhnya Al-Andalus (1492 M), mengakibatkan pengerjaan bangsa Spanyol terhadap Muslimin, pengejaran mana diberkati Paus Roma. Jika kehendak orang Spanyol menyeranikan, maka kehendak orang Portugis ialah berniaga dengan orang Muslim di Indonesia, dan oleh karena ini orang Portugis ialah memperoleh sukses. Sebab peperangan di Europa antara Spanyol sepihak dengan masing-masing Belanda dan Inggris, maka kedua bangsa ini turut juga datang ke Indonesia ditentang oleh kaum Muslimin di tanah air kita.



C. ALAWAYIN DI INDONESIA DI MASA JAJAHAN BELANDA 
 Dengan pelbagai tipu muslihat dan fitnah akhirnya Belanda disokong oleh negara-negara Barat lain, dapat menguasai Indonesia dan ekonomi Belanda mulai berkembang pesat sesudahnya dapat dipergunakan kapal uap. Alawiyin dari pada awalnya jajahan Belanda mulai merasakan rupa-rupa kesulitan, oleh karena Belanda melihat bahwa Alawiyin-lah yang dalam segala lapangan menjadi pelopornya, baik di medan perang maupun dalam bidang pengangkutan barang-barang lewat lautan atau bidang kebudayaan (agama).   Dilarangnya Alawiyin menetap di pedalaman pulau Jawa, dilarangnya berkeluarga dengan anggota istana (yang memang keturunan Alawiyin), hingga yang tiada mampu pindah ke perkampungan tertentu di bandar-bandar di tepi laut, atau karena sebab lain, mengambil nama keluarga Jawa agar dianggapnya orang Jawa asli, pribumi. Oleh karenanya pindahanya Alawiyin dari pedalaman ke bandar-bandar di pinggir laut, maka pula pusat ke-Islaman pindah ke utara seperti Semarang, Surabaya, Jakarta, dst. Yang tidak dapat berpindah dari pedalaman menetap di perkampungan-perkampungan yang disebut “kaum” Suku-suku Alawiyin yang telah anak-beranak dan tiada mampu pindah ke kota-kota besar dan mengambil nama ningrat Jawa, ialah banyak dari pada Al-Basyiban, Al-Baabud, Al-Binyahya, Al-Aydrus, Al-Fad’aq dan lain-lain lagi. Dalam keadaan yang demikian itu, Belanda baru mulai berusaha menyeranikan Jawa Tengah, dimana Islam tiada dapat berkembang oleh karena peperangan-peperangan melawan Belanda dan berhasilnya aneka fitnah yang Belanda ciptakan antara penguasa-penguasa pribumi sendiri.   Anak Muslim tiada boleh bersekolah, sedangkan anak Kristen dapat pendidikan dan pelajaran modern. Kemudian di-izinkan bersekolah Belanda anak-anak orang yang berpangkat pada pemerintah jajahan, dan diharuskan mereka tinggal (yakni in de kost) pada pejabat Belanda. Katanya agar, dapat lancar berbicara bahasa Belanda dan mengikuti pelajaran-pelajaran yang diberi dalam bahasa itu; sebetulnya untuk menjadikan kanak-kanak itu berfikir dan hidup secara orang Belanda, dan untuk mengasingkan mereka dari bangsawan sendiri, dari adat-istiadat dan agamanya. Anak rakyat biasa, awam, mengaji, baik pada madrasah-madrasah Alawiyin atau pesantren-pesantren.   Hubungan Alawiyin dengan para kiyahi erat sekali. Untuk melumpuhkan berkembangnya agama islam di antara anak-anak rakyat jelata, Belanda mengadakan sekolah-sekolah Hollands Inlandse School (H.I.S) dengan syarat bahwa murid tiada boleh bersaring dan berkopya-pici, harus mengenakan celana pendek sampai atas lutut, pakaian mana bukan kebiasaan orang yang mendirikan salat. Jangan sampai kanak-kanak dapat membaca Al-Qur’an dan kitab-kitab agama Islam yang tertulis dengan huruf Arab, Belnda mengajar dengan sungguh menulis dengan huruf lain, dan mengadakan buku-buku yang menarik, dalam huruf ini, untuk maksud mana dibentuknya Balai Perpustakaan. Banyak buku-buku yang dikarang oleh pendeta dan padri indolog dan orientalis, mengandung racun bagi anak murid yang pengetahuannya tentang Islam dan tarikhnya masih sangat Dangkal.   Alawiyin menolak tawaran Belanda untuk membangun Hollands-Arabise School (H.A.S, dan menolak pula subsidi dari pemerintah jajahan bagi madrasah-madrasahnya, karena curiga dan takut dri tipu muslihat dan pengaruh Belanda yang berniat merusak agama Islam. Alawiyin tiada dibolehkan menidirkan cabang-cabang mandrasah di kota-kota besar dengan nama yang sama, oleh karena itu nama-nama madrasah yang sama skala pendidikannya, berlainan namanya. Para guru dari negara Islam didatangkan untuk mengajar di madrasah-madrasah, dan kanak-kanak yang berbakat dikirim lanjutkan pelajarannya ke Hadramaut, Hejaz, Istanbul, Kairo dan lain-lain.   Disamping perguruan, Alawiyin aktif juga di lapangan politik hingga beberapa orang ditangkap dan dipenjarakan. Melawan Belanda antara mana di Aceh, dan sesudah Aceh ditaklukannya, Muslimin hendak mengadakan pemberontakan disana dengan mengibarkan bendera Khalifah Muslimin. Alawiyin hendak menerbitkan pemberontakan di Singapura di kalangan tertentu Muslimin India yang Inggeris hendak berangkatkan untuk berperang di iraq (Perang Dunia I). Perlu juga diketahui bahwa Alawiyin senantiasa berhubungan dengan Muslimin di luar negeri, orang-orang yang terkemuka dan berpengaruh, teristimewa dengan Padisyah, Khalifatul Muslimin, di Istanbul, yang atas aduan Alawiyin pernah mengirim utusan rahasia untuk menyelidiki keadaan-keadaan Muslimin di Indonesia.

D. ALAWIYIN DI INDONESIA DI MASA PENDUDUKAN MILITER JEPANG 
Pendudukan militer Jepang menindas dan mematikan segala kegiatan Alawiyin, terutama dalam bidang politik, peguruan tabligh, pemeliharaan orang miskin dan anak yatim. Perpustakaan yang tidak dapat dinilai harganya di-angkat Jepang, entah kemana. Semua kibat ada capnya dari Al-Rabitah Al-alawiyah yang berpengurus-besar hingga kini di Jalan Mas Mansyur (dahulu jalan Karet) No. 17 Jakarta Pusat (II/24).  e. ALAWIYIN DI INDONESIA SETELAH MERDEKA Pemuda Alawiyin turut giat melawan Inggeris dan Belanda (Nica), bergerilya di pegunungan. SEMUA PEMUDA ALAWIYIN ADALAH WARGANEGARA INDONESIA dan masuk berbagai partai Islam. Dalam lapangan ekonomi mereka sangat lemah hingga kini belum dapat merebut kembali kedudukannya seperti sebelumnya pecah perang dunia ke-dua dengan lain kata, jika Alawiyin sebelumnya Perang Dunia ke II dapat membentuk badan-badan sosial seperti gedung-gedung madrasah, rumah yatim piatu, masjid-masjid dan membayar guru-guru yang cakap, maka sekarang ini dengan susah payah mereka membiayai pemeliharaannya dan tidak dapat lagi memberi tenaga guru-guru sepandai dan seacakap yang dahulu, meskipun kesempatan kiniadalah lebih baik dari dan pertolongan pemerintah ala qadarnya. Kegiatan yang tersebar sampai di pelosok-pelosok kepualauan Indonesia.   Alawiyin yang lebih dikenal dengan sebutan sayid, habib, ayib dan sebagainya tetap dicinta dimana-mana dan memegang peranan rohani yang tidak dapat dibuat-buat sebagaimana juga di negara islam lain. Kebiasaan dan tradisi Alawiyin di-ikuti dalam Perayaan maulid Nabi, haul, nikah, upacara-upacara kematian dan sebagainya.   Suku-suku Alawiyin di Indonesia yang berjumlah kurang lebih 50.000 orang; ada banyak yang besar, antara mana Al-Saggaf, Al-Attas, Al-Syihab, Al-Habasyi, Al-Aydrus, Al-Kaf, Al-Jufri, Al-Haddad dan semua keturunan asal-usul ini dicatat dan dipelihara pada Al-Maktab Al-Da-imi yaitu kantor tetap untuk statistik dan pemeliharaan nasab sadatul-alawiyin yang berpusat di gedung “Darul Aitam”

AL-HABIB SAGGAF BIN MAHDI BIN SYEKH ABU BAKAR BIN SALIM

AL-HABIB SAGGAF BIN MAHDI BIN SYECH ABU BAKAR BIN SALIM
 Abah" Sapaan yang tak asing di telinga kita, setiap langkah di muka bumi ini di manapun dan kapanpun jika terdengar panggilan tersebut benak kita langsung teringat sosok manusia yang Alim dan Arif (Habib Saggaf ),

Abah yang periang, Abah yang bersahabat, Abah yang penuh dengan senyum, Abah yang tak pernah membeda-bedakan walaw tak lagi nampak di mata namun akan tetap bersemayam di hati.....

Jauhnya jarak yang memisahkan tak mampu memutuskan ikatan batin kita dengan Mahad Tercinta (Al Ashriyyah Nurul Iman). kan selalu teringat

Teringat pula kisah yang Inspiratif dalam selama hidupnya berawal dari kalimat "NANTI kamu jadi ulama besar dan kaya raya. Kamu masuk pondok saja. Berangkatlah tawakkaltu," demikian nasihat Habib Soleh bin Ahmad bin Muhammad al-Muhdhar ulama besar dari Bondowoso, Jawa Timur usai 'meneliti' kaki Habib Saggaf bin Mahdi yang masih berusia 14 tahun.

 
 Namun Habib Saggaf muda masih ragu. Pasalnya sejak kecil ia tak pernah mondok. "Kepala seperti mau pecah mendengar perintah itu. Tapi saya pergi juga ke Pesantren Darul Hadits di Malang," kenang Abah, panggilan akrab Habib Saggaf bin Mahdi bin Syeikh Abu Bakar.

Di depan pintu ponpes, Habib Saggaf diterima pendiri Darul Hadits, Habib Abdul Qadir bin Ahmad Bilfaqih al-Alawy. "Kamu musti belajar baca al-Qur'an," kata Habib Abdul Qadir seraya memegang kuping Saggaf.

Sontak, sakit kepala dan keraguan Habib Saggaf hilang. "Hati saya terbuka. Ini guru saya. Apa pun yang terjadi, saya harus belajar di sini," tekad Saggaf muda.

Saggaf pun menempuh pendidikan di sana dengan cemerlang. "Saya menjadi santri hanya 2 tahun 7 bulan dan langsung ngajar fiqh dan nahwu. Saya di sana 13 tahun," kenangnya.

Sepulang dari Malang, Habib Saggaf berguru ke Masjid Sayyidina Abbas di Aljazair selama 5 tahun dan i'tikaf di Makkah selama 5 tahun. Habib Saggaf juga memperdalam tareqat di Iraq. Namun ia harus kembali ke Tanah Air. Guru tarekatnya yang beraliran Syadziliyah, merekomendasikannya belajar tareqat di Mranggen, Demak.

"Karena tareqat Syadziliyah agak sulit di Indonesia, maka saya disuruh ke Mranggen yang beraliran Qadiriyyah. Syekh Muslich Mranggen itu guru tareqat saya," ungkap Habib Saggaf kepada Gamal Ferdhi dan Ahmad Suaedy dari the WAHID Institute.

Dia pun lantas kembali ke Dompu mendirikan Ponpes Ar-Rahman. Tak lama berselang, Saggaf pindah ke Parung Bogor mendirikan Ponpes al-'Ashriyyah Nurul Iman. Sebelum ke Parung, Saggaf mendirikan Ponpes Nurul Ulum di Kali Mas Madya, Surabaya, yang banyak menerima murid dari Singapura, Malaysia, Brunei Darussalam dan Afrika.

Sejak itu, undangan ceramah banyak datang dari negara tetangga. Ratusan ribu massa selalu memadati majelisnya di Singapura. "Bukan hanya orang Melayu dan Islam, orang Cina, India, Budha, Hindu dan lain-lain, telah memenuhi stadion Singapura sejak sore," ujarnya.

Kepandaiannya menguasai Qiraah Sab'ah (bacaan al-Quran dengan riwayat tujuh imam, Red) membuatnya ditunggu majelisnya di Singapura. Namun kepandaiannya itu juga yang mengakibatkan Mufti Singapura menuduhnya mengutak-atik bacaan al-Quran.

"Saya dituduh merusak al-Quran. Akibatnya ponpes saya di Surabaya disegel Depag dengan alasan takut bentrok antara Indonesia dengan Singapura. Tanah seluas 5 ha di Sekupang Batam yang diberi pemerintah juga ditarik kembali," ungkapnya mengenang peristiwa di awal 1980-an itu.

Dia pun pindah ke Jakarta. Di Ibukota, Habib Saggaf pun menghidupkan majelis di Masjid Agung Bintaro. Krisis sosial-politik pasca jatuhnya Soeharto pada 19 Juni 1998, membuat Habib Saggaf memutuskan pindah ke Desa Warujaya, Parung, Bogor yang lebih tenang dibanding Jakarta.

Ternyata, krisis ekonomi turut menghancurkan masyarakat Desa Warujaya. Hal itu memicu Habib Saggaf mengumpulkan anak-anak sekolah di rumahnya. "Sebelum sekolah mereka makan nasi ketan di rumah. Tiap anak saya kasih uang jajan Rp 250. Dan tiap keluarga kita bagi beras 5 kg," katanya.

Pada 1999, datanglah seorang santri asal Wonogiri, Solo, bernama Prawoto Suwito. Kedatangannya memberi spirit bagi Saggaf untuk mendirikan Ponpes al-Ashriyyah Nurul Iman. Kian lama ponpesnya kian besar, hingga kini memiliki 8.231 santri. Selain beribadah dan belajar, ponpes itu juga melatih santrinya bertani, daur ulang sampah dan membuat roti.

Diakui Habib Saggaf, ikhtiar ekonomi para santrinya belum cukup untuk menghidupi ponpes terbesar di Bogor itu. Karena itulah, dia menerima beberapa dermawan mensedekahkan hartanya untuk kepentingan ponpes.

"Dua masjid itu sumbangan dari orang yang sama," ungkap Saggaf menjelaskan asal usul dua masjid besar di dalam pon-pes. Satunya berkapasitas 5.000 orang untuk santri laki-laki dan sebuah lagi, berkapasitas 3.000 orang untuk santri perempuan.

Tak hanya itu, beberapa perkumpulan agama non-Islam turut menyumbang konsumsi, tenaga pengajar, gedung olah raga dan asrama. Jadi, jangan heran jika di depan masjid agung pon-pes berdiri dojo Taekwondo seluas 200 m2, sumbangan dari pengusaha Korea Selatan, Park Young Soo.

"Guru Taekwondo-nya dari Korea. Kita juga memadukan zafin (tarian Arab, Red) dengan Taekwondo. Sekarang sedang dipatenkan di Korea Selatan," jelasnya.

Ponpes itu juga memiliki gedung dua lantai, dengan 24 ruang kelas, 2 ruang guru, 32 kamar mandi dan 20 toilet. Pendidikan tsanawiyah, aliyah dan Universitas Habib Saggaf diselenggarakan di situ. "Gedung ini sumbangan dari Yayasan Buddha Tzu Chi," jelasnya.

Puluhan tempat bermukim para santri, banyak yang berasal dari infaq orang tua santri. Bahkan salah satu diantaranya adalah sumbangan dari organisasi keturunan India di Indonesia, Gandhi Sevaloka.

Hadirnya beberapa bangunan dari sumbangan komunitas non-muslim itu, menurut Habib, karena dirinya tak segan bergaul dengan siapa pun. "Kadang beberapa pendeta tidur di sini untuk mempelajari sistem ponpes ini," akunya.

Habib Saggaf juga terus menanamkan toleransi antar pemeluk agama di negeri ini. Karenanya, ia menyayangkan aksi kekerasan sekelompok orang dengan mencatut Islam. "Akibatnya Islam dipandang salah. Orang Islam dianggap 'tukang makan orang," ujarnya lugas.

Selain itu, kata Habib Saggaf, rusaknya citra Islam juga karena ajaran Islam disalahpahami. "Itu, orang-orang yang ngaku mujahid. Mujahid apa itu, berontak di negara orang. Mereka bikin kacau Indonesia. Kalau saya presiden, saya usir mereka. Saya tangkap dan saya suruh tinggal di Arab. Jadi, jika kita ingin memperbaiki, jangan yang sudah rusak dirusak lagi. Itu baru mujahid," himbaunya.

Untuk itu, ia menghimbau kelompok yang mengusung nama Islam agar menyelesaikan persoalan melalui mekanisme hukum. "Ini Indonesia. Ada pemerintah, ada hukum, dan ada polisi. Mereka yang menjaga keamanan. Jika tidak melalui jalur hukum, berarti ingin mendirikan negara dalam negara. Tapi pemerintah juga salah, kok orang-orang kayak begitu (anarkis, Red) dibiarkan. Mereka itu bisa merusak Indonesia," tandasnya.



HABIB SAGGAF BIN MAHDI BIN SYEKH ABU BAKAR BIN SALIM


Habib Saggaf bin Mahdi lahir di Dompu Nusa Tenggara Barat ( NTB ) Tanggal 15 Agustus 1945. jebolan Pesantren Tradisional Darul Hadist Malang, kemudian balik kampung halamannya dan mendirikan Pesantren Ar-Rahman yang hingga kini masih eksis di Dompu. Beliau Termasuk berketurunan Yaman, Kemudian Beliau melanjutkan studinya berturut-turut di Bahrain, Al-Azhar Mesir, dan Irak, lalu mengamalkan ilmunya di Makkah selama lima tahun. Sebelum kembali ke tanah air, ia sempat mengajar di Italia,Taipeh (Taiwan). Singapura, Malaysia, sampai Ke Brunei Darussalam. Sebelum pindah ke Jakarta Beliau mendirikan Pesantren Nurul Ulum Di Surabaya.

Lelaki yang selalu berjubah putih ini memiliki komitmen yang kuat untuk melahirkan SDM yang berkualitas dan profesional. Sisa hidupnya dihabiskan di dunia pendidikan. Kegiatan sosialnya di Desa Waru jaya, Parung Bogor, tahun 1998 itu, mendapat simpati masyarakat. Rumah yang dimilikinya sekarang adalah wakaf seorang dermawan bernama H.Gembong dari Blitar.

Pesantren ini pada mulanya diawali seorang santri, yaitu remaja bernama Prawoto Suwito asal Wonogiri, Solo, alumi STM yang bekerja di PT Sanyo. Pada tahun 1998 ia bermimpi ingin nyantri ke Abah dan mimpi itu langsung disampaikannya kepada Abah. Katanya, ia ingin nyantri untuk menguatkan jiwanya menghadapi kehidupan ini.

Prawoto lalu dibuatkan pondok terbuat dari kayu bambu berukuran 4x5 M sebagai pondok yang pertama di pesantren itu. Setelah itu datang lagi sekitar 25 santri, dibuat kan lagi pondok ukuran 8x5 M, datang lagi sekitar 70 santri, datang lagi, datang lagi. Santrinya bertambah terus, sedangkan kapasitas pondoknya kecil dan sempit bahkan sebagian ada yang tidur di bawah kolong. Hal ini, menggugah perhatian sejumlah dermawan, salah satu teman akrabnya Beliau adalah Bapak H. Isya Anwar dari jakarta.)

Berbasis Kompetensi

Pesantren Nurul Iman didirikan 16 Juni 1998 menekankan kedisiplinan, maningkatakan kekuatan pribadi dengan ilmu Agama dan umum plus kecakapan hidup (life skills) berbasis kompetensi. Pesantren ini memadukan sistem madrasah dan sekolah umum serta pengajian kitab-kitab klasik.

Secara normatif landasan hukum pelaksanaannya mengacu pada (1) Instruksi Presiden Nomor : 1 tahun 1994 yang menegaskan bahwa “Pesantren dimungkingkan menyelenggarakan program pendidikan dasar tersendiri yang penyetaraannya dengan pendidikan dasar di setujui oleh Menteri Pendidikan dan Kebudayaan”;(2) Kesepakatan bersama Menteri Pendidikan Nasional dan Menteri Agama Nomor : 1/U/KB/2000,tentang “Pondok Pesantren Salafiyah sebagai Pola Wajib Belajar Pendidikan Dasar”;(3) Surat Keputusan Bersama Dirjen Dikdasmen Binbaga Islam, Nomor : E/83/2000 dan Nomor : 166/C/DS/2000, tentang “Pedoman Pelaksanaan Pondok Pesantren Salafiyah sebagai Pola Wajib Belajar Pendidikan Dasar”.

Kurikulumnya memadukan sistem pendidikan Keagamaan dan umum. Sistem pembelajarannya : pengetahuan keagamaan jam 07.30-11.00, pengetahuan umum jam 14.00-16.00. pesantren yang tidak memungut biaya (baca : gratis) ini, menampung santri dari berbagai daerah seluruh Indonesia, anak-anak yang kurang mampu (secara ekonomi), anak yatim piatu dan anak-anak jalanan. Para pengasuhnya terdiri dari alumni Timur Tengah, UIN Syarif hidayatullah Jakarta, IAIN Alauddin Makassar, Universitas Indonesia dan lainnya. Mereka kebanyakan sarjana, magister dan doktoral (guru besar) yang memiliki kualifikasi yang baik.

Para santri diwajibkan menghafal Al-Qur’an ditambah keterampilan menguasai brebagai bahasa asing : Inggris, Arab, Mandarin dan Korea. Kegiatan ekstrakulikuler meliputi antara lain : latihan kepemimpinan, kepramukaan, olahraga, seni tari (tarian India, Cina, Di samping tari-tarian nasional dan daerah). Fasilitas pesantren sekarang ini antara lain : Masjid Toha, Ruangan Belajar, Ruang Belajar Baru sebanyak 38 ruangan (tahun ajaran baru ini dimanfaatkan), laboraturium bahasa dan komputer, rumah baca, buku-buku dan fasilitas olahraga. Prestasi yang disandang para santri antara lain : Juara Nasional Tae KwonDo, Juara 1 baca Kitab Se Indonesia dan hafal Al Qur’an 30 juz. Juara 1 MTQ Nasional, Kini Pesantren Nurul Iman merupakan Pesantren terbesar di kawasan Parung Bogor, dengan 14000 ( Empat belas ribu ) santri dan luas tanah 150 hektar. Jenjang pendidikan meliputi Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) Madrasah Diniyyah, Madrasah Tsanawiyyah, Madrasah Aliyah dan Perguruan Tinggi ( STAINI ).
Kunjungan orang tua santri hanya dibolehkan pada hari Besar Islam Tahun baru Islam, Maulid Nabi, Idul Fitri, Dll. sehingga setiap Tahunnya pesantren bukannya sepi tapi justru ramai karena banyak orang tua menjenguk anak-anak mereka. Lokasi sekitar pesantren berubah menjadi pasar kaget karena banyak pedagang memanfaatkan waktu jenguk itu. By Nurul Iman student.

Read more: http://mymedia-4.blogspot.com/2010/09/biografi-guru-besar-al-asriyyah-nurul.html#ixzz1w2UnsS95

KAROMAH HABIB SAGGAF BIN MAHDI BIN SYEKH ABU BAKAR BIN SALIM (HABIB PARUNG)



Dalam aqidah Ahlussunnah wal Jama’ah, kita meyakini adanya mukjizat bagi para nabi. Begitupula karamah bagi para kekasih Allah Swt., atau biasa kita sebut para wali. Tokoh yang akan kita bicarakan kali ini sudah tidak asing lagi di telinga para muhibbin Indonesia, khususnya para santri Pondok Pesantren al-Ashriyyah Nurul Iman Parung Bogor.

Diantara keistiqomahan Habib Saggaf adalah di setiap malam setelah beliau pulang dari keliling kota, selalu mengontrol murid-muridnya yang sedang beristirahat tidur malam.

Suatu saat Habib Saggaf sedang berjalan menuju ke kediaman beliau sepulang dari
asrama putra (al-Ashriyyah Nurul Iman) tepatnya pada hari Selasa malam Rabu pukul 22.15 WIB tahun 2003, datanglah seseorang yang mengenakan jubah layaknya seorang ulama
dan mengaku bahwa dirinya adalah Jibril.

Melihat kejadian itu Habib Saggaf berteriak dengan suara yang sangat keras seraya berkata: “Anta Iblis!” Kemudian sosok berjubah itu pun hilang seketka.

Kisah selanjutnya diceritakan oleh Syaikh Ahmad Shiddiq, utusan Raja Abu Dhabi, Emirat Arab. Teatnya pada tahun 2005 ketika Raja Abu Dhabi sakit keras dan berobat ke berbagai tabib namun belum juga sembuh, akhirnya diutuslah seorang utusan ke Indonesia untuk menemui Habib Saggaf bin Mahdi yang sudah lama dikenal oleh raja dan pemerintahan Abu Dhabi. Dengan permintaan itu, Habib Saggaf pun mengabulkan permintaannya.

Setelah selesai menepati harapan raja, beliau sebelum pulang ke Indonesia menyempatkan diri untuk umrah dan ziarah kepada sang kakek, Nabi Muhammad Saw.

Saat Habib Saggaf di Ka’bah beliau hendak mencium Hajar Aswad, namun terhalang-halangi oleh kerumunan jamaah yang lain sehingga beliaupun tidak bisa mendekat pada Hajar Aswad itu. Tiba-tiba datanglah seseorang yang tinggi besar dan meletakan beliau di atas telapak tangannya lalu dihadapkan ke Hajar Aswad. Syaikh Ahmad Shiddiq (utusan Raja Abu Dhabi) yang menyaksikan kejadian tersebut, sang utusan itu melihat sang habib terbang di atas jamaah haji.

Selesai melaksanakan umrah, Habib Saggaf ziarah ke makam Rasulullah Saw. Ketika beliau mendekati dinding kubur Rasulullah Saw. beliau mengulurkan sorbannya untuk mengharap keberkahan Nabi Saw. Melihat hal ini, sang opsir penjaga (muthawi’) menyeret beliau sambil berteriak: “Bid’ah!" lalu Habib Saggaf dipukuli oleh opsir tersebut.

Tiba-tiba keluarlah Rasulullah Saw. dari arah dinding kubur yang disaksikan oleh semua jamaah yang hadir waktu itu. Rasulullah Saw. menampakkan nurnya yang menyelimuti Habib Saggaf.

Kemudian Rasulullah Saw mengulurkan tangannya seraya bersabda: “Saggaf, masuklah bersamaku.”

Dengan tawadhu’Habib Saggaf menjawab: “Cukup di sini saja wahai Rasulullah, supaya sama dengan yang lainnya. Saya mengharap syafaatmu wahai Rasulullah.”

Kemudian Rasulullah Saw. menjawab: “Aku beri syafaat padamu wahai cucuku.”

Inilah secuil kisah karamah Habib Saggaf bin Mahdi BSA yang sudah masyhur diceritakan dari santri ke santri, dan kemudian menyebar ke khalayak umum setelah kewafatan beliau. Mari kita hadiahkan bacaan surat al-Fatihah teruntuk beliau yang telah mendahului kita. ‘Ala kulli niyyatin shalihah wa ila hadhratin Nabi Muhammad Saw. al-Fatihah...


Wallahu A’lam Bishshawab.

Pondok Pesantren Al-Ashriyyah Nurul Iman












Pondok Pesantren Al-Ashriyyah Nurul Iman
Parung - Bogor
Didirikan
16 Juni 1998
Jenis
Pesantren Modern
Afiliasi
Pendiri
Habib Saggaf bin Mahdi Bin Syekh Abubakar
Lokasi
Pondok Pesantren Al-Ashriyyah Nurul Iman adalah sebuah pondok moderna yang beralamatkan di Jalan Nurul Iman Desa Warujaya, Kec. Parung Kab. Bogor Jawa Barat Indonesia.
Sejarah
Pada awal terjadinya krisis moneter, banyak sekali kesulitan-kesulitan yang dihadapi oleh bangsa Indonesia. Terjadinya kasus semanggi pada tanggal 12 Mei 1998 menyebabkan jatuh dan terpuruknya perekonomian bangsa Indonesia. Di saat itu As Syekh Habib Saggaf Bin Mahdi Bin Syekh Abu Bakar Bin Salim yang masih bertempat tinggal di kawasan perumahan Bintaro Jaya merasa prihatin dan sedih dengan hal tersebut. Semakin banyaknya para remaja yang putus sekolah serta tidak mampu melanjutkan ke jenjang yang lebih tinggi yang disebabkan krisis moneter serta terjadinya krisis moral dimana-mana, menjadikan beliau bersikeras mendirikan suatu lembaga pendidikan gratis demi meringankan beban bagi mereka yang tidak mampu, umumnya bangsa Indonesia. Sehingga dengan tekad dan kemauan beliau yang mulia tersebut, beliau rela meninggalkan keglamouran kota metropolitan dan mengambil keputusan untuk menetap di desa. Beliau akhirnya pindah ke Desa Waru Jaya, Kecamatan Parung, Jawa Barat Desa yang penduduknya dibawah garis kemiskinan yang mayoritas penghasilan mereka hanya mengandalkan penjualan daun melinjo serta ikan air tawar.
Kemudian, mulailah Beliau membangun sebuah Pondok Pesantren. Dengan disaksikan para undangan dari Pejabat Pemerintahan Daerah Kabupaten Bogor, para Pejabat Tinggi Negara Republik Indonesia dan juga Duta Besar Negara-Negara Arab, Brunei Darussalam, Singapura dan Malaysia, maka “Peletakkan Batu Pertama” Pendirian Pondok Pesantren Al-Ashriyyah Nurul Iman dilaksanakan pada tanggal 16 Juni 1998 di atas lahan 17 (tujuh belas) hektare. Diawali dengan peresmian peletakkan batu pertama pendirian Pondok Pesantren Al-Ashriyyah Nurul Iman, maka dalam operasionalnya, Pondok Pesantren Al-Ashriyyah Nurul Iman mendapatkan rekomendasi dari Kepala Desa Waru Jaya dan Camat Kecamatan Parung Kabupaten Bogor tertanggal 10 Gedung sekolah santri putri Pondok Pesantren Al-Ashriyyah Nurul ImanMaret 1999, serta telah didaftarkan pada kantor Departemen Agama Kabupaten Bogor sejak tanggal 12 Maret 1999 dengan nomor : MI-10/1/PP/007/825/1999, maka dicatatlah akte pendirian Pondok PesantrenAl-Ashriyyah Nurul Iman tanggal 25 Maret 1999 No. 7 dihadapan Notaris Lasmiati Sadikin, SH. Pada mulanya para santri menetap di asrama belakang rumah beliau, namun karena makin banyaknya santri yang berminat maka dibangunkan sebuah kobong (bangunan dari bambu) yang berukuran 4 X 5 meter di areal tanah yang awalnya sebuah hutan semak belukar dan rumput ilalang. Hari ke hari semakin banyak santri yang berminat hingga kobong tersebut tidak lagi mencukupi untuk di tempati. Mulailah beliau membangun gedung asrama di samping kobong tersebut, mulai dari dari pembangunan gedung H. Isya dengan luas 15x12 M2 pada tahun 2000. Asrama memberikan pandangan baru dalam pat tinggal para santri yang mayoritas hanya maklum adanya, dengan adanya bangunan baru tersebut untuk mereka, membuat penambahan kesemangatan dalam belajar mereka. Namun, perkembangan tak putus begitu saja, dari tahun ketahun prioritas perkembangan jumlah para santri begitu drastis yang pada akhirnya muncul asrama-asrama baru yang menjadi objek penampungan para santri seperti asrama Gandhi seva loka dengan luas 15x12 M2, lalu disusul dengan di bangunnya asrama jadid dengan luas 15x12 M2 masih pada tahun 2000. memang pada halnya, sebagai pengemban tugas para santri di tuntut untuk memproyektifitikan keseharian mereka antara pengembangan ilmu akhirat sebagai program utama pada bidang pendidikan pondok pesantren, dengan IPTEK sebagai pendamping projek mereka didunia, maka di bangun kembali satu tempat ibadah untuk para santri dengan luas 32.5x9.50 M2, di depan pintu gerbang pondok Mulai dari sinilah perkembangan demi perkembangan terlihat. Terbukti dari munculnya asrama-asrama baru di lingkungan perkomplekan pondok pesantren yang menjadi pemandangan baru di wilayah perkomplekan putra dan putri yaitu asrama Hanif (perkomplekan putra) dengan luas 12x6 M2, asrama H. Kosim (perkomplekan putra) dengan luas 12x6 M2, asrama Olga Fatma (perkomplekan putra) dengan luas 20x12 M2, asrama Anwariyyah (perkomplekan putra) dengan luas 56x12 M2,tiga local asrama (perkomplekan putri), asrama dengan tiga belas kamar (perkomplekan putri), gedung belajar tingkat dua (perkomplekan putri) dan dua tempat ibadah (Masjid) diarea perkomplekan putra dengan luas 36x36 M2 dan putri dengan luas30x30 M2.
Dari waktu ke waktu mulailah tersebar nama Pondok Pesantren Al-Ashriyyah Nurul Iman dengan seluruh pembiayaan pendidikan, pengobatan, makan dan minum serta sarana dan pra-sarana ditanggung oleh pihak yayasan (gratis), maka mulai dari sinilah berdatangan parasantri-santri yang berminat belajar di pondok pesantren tidak hanya dari daerah Desa Waru Jaya saja, melainkan hingga daerah-daerah jauh di dataran bumi Indonesia mulai dari Sabang sampai Merauke, bahkan dari luar negeri. nama Al-Ashriyyah Nurul Iman dinukil dari bahasa Arab, Al-Ashriyyah bermakna modern, yang tujuannya “menjadi pusat pembinaan pendidikan agama dan pengetahuan umum secara terpadu dan modern. Nurul Iman berawal dari kosa kata bahasa Arab, Nuur yang bermakna cahaya, dan Al-Iman bermakna keimanan.
Oleh karena itu Pondok Pesantren Al-Ashriyyah Nurul Iman di harapkan mampu menciptakan ulama-ulama yang memiliki ilmu pengetahuan agama dan ilmu pengetahuan umum yang terpadu dan modern dengan diselimuti cahaya keimanan yang tinggi. Kini walaupun semakinbertambahnya jumlah santri, tetapi Yayasan Pondok Pesantren Al-Ashriyyah Nurul Iman tetap senantiasa menjadi lembaga Pendidikan yang seluruh biaya pendidikannya, makan dan minumnya, pengobatannya serta sarana dan pra sarana lainnya ditanggung oleh Yayasan. Dengan kata lain gratis untuk seluruh lapisan masyarakat,terutama bagi mereka dari golongan yang tidak mampu,fakirmiskin,anak yatim serta anak-anak terlantar.
Program Pengembangan
Seperti layaknya lembaga pendidikan lainnya, pesantren ini juga memiliki program pengembangan untuk masa datang baik dalam bidang pendidikan maupun dalam pengembangan bangunan di lingkungan Pondok Pesantren. Untuk pendidikan, pesantren ini memiliki program untuk mewujudkan SDM yang berkualitas tinggi dalam keimanan dan ketakwaan, menguasai IPTEK yang menjadi tumpangan hidup didunia, oleh sebab itu diadakannya kursusu-kursus di luar pendidikan formal dalam pembelajaran keseharian para santri seperti diadakannya kursus bahasa, kursus komputer, kursus menjahit, pelatihan pertanian, pemanfaatan sampah-sampah menjadi bahan bangunan, peternakan ikan dan lain-lain. Para santri-pun di tuntut untuk mampu menguasai minimal empat bahasa yaitu bahasa arab, inggeris dan mandarin untuk bekal panduan pelepasan mereka kelak. Dengan modal awal seperti inilah yang terektur pada dirimereka agar mampu memproyeksikan ilmu dunia dan ilmu akhirat, serta mampu mengaktualisasikannya dalam masyarakat dengan menyiapkan calon pemimpin masa depan yang menguasai IPTEK, mempunyai daya juang tinggi, kreatif, inofatif dan tetap di landasan iman dan takwa yang kuat, karena itu yayasan berusahamengembangkan kreatifitas serta meningkatkan pengetahuan dan profesional tenaga kependidikan sesuai perkembangan dunia pendidikan yang menjadikanpondok pesantren Al Ashriyyah Nurul Iman sebagai pondok percontohan di seluruh indonesia dalam pengembangan pengajaran IPTEK dan IMTAK bagipendidikan lembaga lainnya.
Dan untuk program pengembangan pembangunan, pesantren ini memiliki program untuk menambah asrama untuk anak-anak tinggal, karena anak- anak tidur di masjid dan tempat - tempat yang terbuka baik anak laki -laki maupun perempuan mengingat belum cukupnya asrama-asrama sebagai tempat yang layak untuk tempat tinggal. Di samping itu karena pendidikan ini pendidikan padat karya, Beliau (Al Syekh Habib Saggaf bin Mahdi) mendidik anak-anak untuk belajar cara membuat roti, tahu, tempe, kecap, sabun dan tata cara jahit-menjahit. Beliau sangat membutuhkan sarana-sarana yang memudahkan terlaksananya pendidikan tersebut.Mudah-mudahan cita-cita ini mengantar anak-anak didiknya di jalan kesuksesan.
Pendidikan
Jenjang pendidikan Pondok Pesantren Al-Ashriyyah Nurul Iman sistem pembelajaran yang memadukan antara sistem pembelajaran salafiyyah yang merujuk pada pembahasan kitab-kitab klasik ( Tafsir Jalalain, Nahwu Al-Jurumiyah, I’mrithi, Alfiyah, Fiqih Safinatun Najah, Ghoyah wataqrib, Fathul Mu’in dll ). Serta system pendidikan modern yang merujuk pada kurikulum yang ditetapkan oleh DEPDIKNAS.
pendidikan formal yang ada di pondok ini antara lain :
  • Madrasah Ibtidaiyah (MIN/SD)
  • Madrasah Tsanawiyah (MTs/SMPN)
  • Madarasah Aliyah (MA/SMUN)
  • Sekolah Tinggi Al-Ashriyyah Nurul Iman ( STAINI)